Istanbul, LKLB News – Institut Leimena menjadi salah satu lembaga yang diundang dalam pertemuan lembaga dan pusat kajian dari sejumlah negara untuk mengembangkan relasi Kristen dan Muslim. Pertemuan yang diberi judul “Network of Centers for Christian-Muslim Relations” itu diinisiasi oleh ScholarLeaders International, yaitu sebuah lembaga non-profit berbasis di Amerika Serikat (AS) yang bermisi memberdayakan para pemimpin teologi Kristen.
“Tujuan pertemuan ini adalah memfasilitasi dan saling berjejaring antara berbagai pusat studi dan kajian yang ingin mengembangkan serta meningkatkan hubungan dan pemahaman antara Kristen dan Islam,” kata Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho.
Pertemuan yang diadakan di kota Istanbul, Turki, pada 12-14 Mei 2023 dihadiri 18 perwakilan lembaga dan organisasi dari 12 negara yang sebagian besar berasal dari Afrika dan Timur Tengah. Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mewakili wilayah Asia Tenggara bersama Profesor Studi Islam dari Seminari Theoloji Malaysia, Dr. Albert Sundararaj Walters.
Matius menjelaskan pertemuan tersebut masih tahap penjajakan untuk melihat sejauh mana jejaring antar lembaga dan pusat kajian lintas negara bisa efektif untuk membangun relasi Kristen dan Muslim. Sesi utama diisi oleh Senior Research Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, yang menjelaskan mengenai konsep Covenantal Pluralisme. Dr. Chris Seiple juga merupakan salah satu inisiator dan narasumber utama dari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan di Indonesia.
“Saya menjelaskan mengenai program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang berangkat dari teori Covenantal Pluralism. Semoga saja jika network ini jadi dijalankan, bisa bermanfaat juga bagi LKLB di Indonesia,” ujar Matius.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, saat menyampaikan paparan mengenai program Literasi Keagamaan Lintas Budaya.
Pertemuan dibuka oleh Direktur Pusat untuk Kekristenan Timur Tengah di Seminari Presbiterian, Kairo, Dr. Wageeh Mikhail, yang menjelaskan alasan dan tujuan kegiatan. Selanjutnya, sesi utama membahas tentang Covenantal Pluralism oleh Dr. Chris Seiple yang menjelaskan bahwa pluralisme kovenantal bersifat menyeluruh baik dari atas ke bawah lewat konstitusi dan kebijakan, maupun dari bawah melalui norma-norma dan praktik budaya dan sosial dalam masyarakat.
Sesi-sesi selanjutnya diisi oleh paparan dari perwakilan lembaga yang hadir dalam acara tersebut. Matius Ho menjelaskan latar belakang pendirian Institut Leimena dan kerja konkretnya untuk menumbuhkan kolaborasi antar agama melalui program LKLB.
Menurut Matius, praktik pluralisme kovenantal telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia lewat Sumpah Pemuda, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia tidak mencampuradukkan perbedaan yang ada, sebaliknya menghargai setiap perbedaan, serta memilih untuk bersatu berdasarkan kesepakatan yang sama.
Senior Research Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, dan Director Sanneh Institute, Ghana, Dr. John Azumah.
Pimpinan lembaga yang hadir lainnya antara lain Uskup Agung Moneer Hanna Anis (Direktur Pusat untuk Kemitraan dan Pemahaman Kristen-Muslim, Kairo, Mesir), Dr. John Azumah (Direktur Sanneh Institute, Ghana), Dr. Renee Hattar (Direktur The Royal Jordanian Institute for Inter-Faith Studies, Yordania), Dr. Elias Halabi (Direktur Pusat Studi Kristen Muslim di Universitas Balamand, Lebanon), dan Abdullah Al-Muaz Bin Mohamed Fatris (Eksekutif Senior Dewan Keagamaan Islam Singapura).
Selain itu, hadir pula Dr. Syed Aftab Haider (Direktur Yayasan Ahlul Bait Afrika Selatan), Dr. Joseph Mutai (Dekan Mahasiswa dan Guru Besar Hubungan Kristen-Muslim Universitas Saint Paul, Kenya), Imam Abdulkareem Majemu Shefiu (Direktur Pusat Pengembangan Kekuatan dalam Keberagaman, Nigeria), dan Dr. Nayla Tabbara (Direktur Yayasan Adyan, Lebanon), Dr. Maqsood Kamil (Direktur Institut Manajemen dan Kepemimpinan Arete, Pakistan), dan Justin Meyers (Direktur Pusat Al-Amana, Oman). [IL/Chr]