Peserta dan fasilitator workshop LKLB saat melakukan kunjungan lapangan di Gereja Santo Ignatius Loyola Banjardowo, Semarang, 10 Desember 2022.

Jakarta, LKLB News – Pengalaman berinteraksi langsung dengan penganut agama berbeda memberikan kesan tersendiri bagi para alumni Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang menjadi peserta workshop pengembangan program dan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis LKLB di Semarang, Jawa Tengah pada 9-11 Desember 2022. Sebanyak 28 peserta melakukan kunjungan lapangan ke dua gereja yaitu Gereja Katolik Santo Ignatius Loyola Banjardowo dan Gereja Kristen Indoensia (GKI) Karangsaru, sebagai salah satu agenda kegiatan workshop dengan tujuan penguatan kompetensi komparatif.

Sebagian besar peserta workshop mengungkapkan belum pernah mendatangi gereja dan berdialog dengan pemuka agama Kristen. Kunjungan tersebut diakui telah membuka pola pikir (mindset) dan menghapuskan stigma mengenai agama lain.

“Secara pribadi, saya merasakan hangatnya persahabatan ketika saudara-saudara kami dari gereja paroki administratif Katolik dan Gereja Kristen Indonesia menyambut kami,” kata salah satu alumni peserta workshop, Guru SMK Muhammadiyah 1 Tegal, Yahya Kautsar.

Yahya mengatakan rasa persahabatan kuat terpancar saat pemuka agama di kedua gereja menjawab pertanyaan peserta workshop dengan jujur. Dalam kunjungan ke gereja, peserta workshop dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi.

“Saya melihat pentingnya kunjungan ke tempat-tempat peribadatan agama lain agar saling mengenal dan tidak saling berburuk sangka sehingga tercipta kesatuan Indonesia dengan sangat kompak,” ujarnya.

Dalam kunjungan ke Gereja Katolik Santo Ignatius Loyola Banjardowo, para peserta workshop LKLB disambut oleh Romo Thomas Ari Wibowo dan Romo Aloysius Budi Purnomo. Sedangkan, di GKI Karangsaru diterima oleh Pendeta Utomo, Pendeta Angga Prasetya, dan Ibu Bety Oktafia. 

Kunjungan di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Karangsaru, Semarang, 10 Desember 2022.

Wakil Kepala Sekolah SMP MBS Gunem, Rembang, Ummi Mukhoyyaroh, mengatakan pertemuan dengan Romo dan Pendeta di gereja telah mengubah cara pandangnya termasuk stigma tentang pemeluk agama Kristen. Dia mengakui tidak semua orang bisa bersikap terbuka, sehingga pemahaman LKLB menjadi sangat penting.

“Berinteraksi dengan yang berbeda ternyata asyik betul sebab kami justru saling memberikan hal baru,” kata Ummi.

Senada dengan itu, Wakil Kepala MI Muhammadiyah Kalialang, Brebes, Taufiq, menyebut dirinya menjadi lebih berdamai dengan perbedaan. Perbincangan hangat di dua gereja membuatnya menyadari cinta kasih dalam bingkai pluralisme Indonesia.

Melatih Sensitivitas

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A menilai workshop LKLB semakin melatih sensitivitas para guru madrasah dalam memandang perbedaan. Dia menegaskan guru-guru alumni LKLB harus benar-benar “selesai” secara pemahaman bahwa keragaman di Indonesia adalah takdir Allah. Itu sebabnya, sikap terbuka dan menerima mereka yang berbeda harus terus-menerus dibiasakan kepada peserta didik.

Menurutnya, workshop LKLB berusaha memandu guru menurunkan konsep LKLB secara konkret dan praktis lewat program sekolah dan RPP. Guru merupakan agen perubahan untuk membentuk pola pikir murid khususnya dalam konteks agama yang kerap kali rawan ekstremisme dan radikalisme.

“Riset mengatakan pendidikan di Indonesia melahirkan sumber daya manusia yang paradoksal. Ada 2 sisi bertentangan, yaitu di satu sisi, pendidikan idealnya menanamkan moralitas baik, tapi di sisi lain diajarkan atau dibangun tradisi yang membeda-bedakan, bukan memahami perbedaan,” ucapnya.

Diskusi kelompok dalam sesi kunjungan lapangan ke gereja.

Inayah menambahkan guru harus menyadari bahwa sumber belajar anak saat ini semakin luas seiring dengan perkembangan teknologi. Itu sebabnya, seorang guru harus memiliki kemampuan berdiskusi termasuk dalam hal beragama sehingga lahir peserta didik yang memiliki sikap terbuka dan toleran.

“Kita berharap agama menjadi alat kontrol, nilai-nilai dasar anak-anak kita dalam membangun hubungan ideal dengan orang lain. Tapi apakah agama yang kita ajarkan sudah sedemikian,” lanjutnya.

Workshop pengembangan program dan penyusunan RPP berbasis LKLB merupakan salah satu kegiatan upgrading alumni LKLB. Diharapkan, para alumni LKLB mampu menerapkan pendekatan LKLB lewat program konkret dan kegiatan belajar mengajar di sekolah/madrasah masing-masing.

“Pengembangan dan praktek ini diharapkan dapat memberikan pengalaman nyata pada para peserta, tanpa harus merasa agamanya terancam, bahkan semakin memperkuat keyakinan akan kebaikan agama masing-masing,” kata Koordinator Program Alumni LKLB dari Institut Leimena, Daniel Adipranata. [IL/Chr]