Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah Dr. KH  Tafsir dalam workshop LKLB di Semarang, Jawa Tengah.

Jakarta, LKLB News – Pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji (KH) Ahmad Dahlan, menjadi teladan dalam membangun Islam yang inklusif. Selama hidupnya, KH Ahmad Dahlan dikenal memiliki pergaulan luas dengan kelompok agama berbeda di tengah upayanya melakukan dakwah untuk pembaruan Islam.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah Dr. KH Tafsir, mengatakan KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang berani dan terbuka. Tidak hanya akrab dengan Kraton Yogyakarta dan kelompok Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan juga memiliki relasi dekat dengan kalangan gereja.

“KH Ahmad Dahlan tokoh Muhammadiyah yang begitu akrab dengan Kraton. Kedua, beliau sangat akrab dengan kelompok nasionalis Budi Utomo, sehingga menjadi penasihat spiritual Budi Utomo, termasuk nama Muhammadiyah usulan tokoh-tokoh Budi Utomo. Yang lebih hebat lagi, Kiai Dahlan sangat akrab dengan kalangan gereja,” kata Tafsir saat pembukaan workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (9/12/2022).

Tafsir mengatakan ketokohan KH Ahmad Dahlan dipaparkan lewat disertasi berjudul Muhammadiyah: Perilaku Politik Organisasi Pembaruan Islam di Masa Penjajahan Belanda karya Dr. Alfian. Disebutkan bahwa anggaran dasar pertama Muhammadiyah menyebut tentang memajukan umat Islam dan bangsa Indonesia, serta membangun dakwah yang menggembirakan.

Dalam upaya memajukan bangsa, Kiai Dahlan menyadari dibutuhkan dua syarat minimal yaitu pendidikan dan kesehatan. Namun, umat Islam saat itu belum mempunyai pengalaman dalam mendirikan sekolah yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama, serta belum berpengalaman membangun rumah sakit (RS).

“Maka ke mana KH Ahmad Dahlan belajar? Beliau belajar ke gereja. Itu sebabnya, antara Muhammadiyah dan Katolik, sama dan sebangun. Di Katolik ada sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, maka di Muhammadiyah juga ada,” kata Tafsir.

Menurut Tafsir, KH Ahmad Dahlan tidak segan belajar dan bekerja sama dengan orang berbeda agama. Relasi KH Ahmad Dahlan dengan gereja acap kali membuatnya dijuluki sebagai ‘Kiai Kristen’.

“Ulama yang tidak suka waktu itu menjuluki ‘Kiai Kristen’ karena pergaulan sedemikian luas salah satunya dengan para aktivis gereja atau para tokoh gereja, itulah KH Ahmad Dahlan,” katanya.

Para guru madrasah/pesantren peserta workshop LKLB di Semarang.

Tafsir, mengutip disertasi Dr. Alfian, mengungkapkan KH Ahmad Dahlan memiliki tiga karakter, yaitu tokoh pragmatis yang tidak suka berdebat atau berwacana melainkan langsung bertindak. Kedua, KH Ahmad Dahlan lambang “lambat tapi pasti” dan ketiga, KH Ahmad Dahlan non konfrontatif artinya bisa bekerja sama dengan siapa pun termasuk pihak gereja.

Dia menyebut keberanian KH Ahmad Dahlan juga terlihat saat mengundang pimpinan Ahmadiyah hadir sebagai narasumber dalam Muktamar Muhammadiyah. Ahmad Dahlan merupakan orang pertama yang menyambut kehadiran Khalifah Ahmadiyah dari Pakistan ke Indonesia.

Tafsir menambahkan KH Ahmad Dahlan pun ikut mendirikan Aisyiyah, yaitu organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah, untuk mendorong perempuan tampil di ruang publik. Ide tersebut tentu tidak lazim pada waktu itu dimana keterlibatan perempuan masih sangat tabu.

“Kalau kita mengaca pada KH Ahmad Dahlan, kita masih kategori konservatif. Tidak ada apa-apanya,” lanjutnya.

Sesi diskusi kelompok menjadi bagian penting dalam workshop LKLB.

Kerja Sama LKLB

Workshop LKLB di Semarang diikuti oleh 28 guru madrasah/pesantren yang telah lulus pelatihan LKLB secara daring. Mayoritas adalah para guru madrasah/pesantren Muhammadiyah di wilayah PWM Jawa Tengah.

Tafsir menjelaskan program LKLB sebagai kerja sama Institut Leimena dengan berbagai mitra termasuk Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, perlu mendapat dukungan. Sebagai mantan ketua Interfaith Forum Committe (IFC) Semarang, dia menyebut dialog lintas agama bukan berarti peleburan diri, melainkan berusaha saling memahami dengan tetap pada jati diri masing-masing.

“Ketika Majelis Dikdasmen menelepon saya menanyakan apakah kerja sama (LKLB) ditindaklanjuti? Saya jawab, kenapa tidak, karena kita hidup bukan di ruang hampa, tapi dinamika peradaban sehingga tidak boleh eksklusif tapi inklusif dengan siapa pun,” ujar Tafsir.

Koordinator Program Alumni LKLB Institut Leimena, Daniel Adipranata, mengatakan jumlah alumni LKLB terbanyak berasal dari Jawa tengah yaitu sekitar 680 orang. Pelatihan LKLB sendiri sejak Oktober 2021 sudah meluluskan sedikitnya 3.000 alumni dari 24 angkatan. Workshop LKLB yang merupakan program lanjutan setelah pelatihan LKLB, sudah digelar empat kali bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

“Dari 24 kelas pelatihan LKLB merupakan kerja sama dengan berbagai mitra antara lain Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Maarif Institute, UIN Sunan Kalijaga, Masjid Istiqlal, Pengurus Besar Alkhairaat, dan Universitas Muslim Indonesia di Makassar,” ujar Daniel. [IL/Chr]