Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI sekaligus Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin.

 

Jakarta, LKLB News – Kurikulum sekolah dinilai masih kurang substantif untuk menjawab persoalan keberagaman. Padahal, sekolah mempunyai peran penting sebagai jembatan untuk menyiapkan peserta didik menghadapi perbedaan sebagai suatu keniscayaan di tengah masyarakat.

Pernyataan itu disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI sekaligus Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, berdasarkan hasil penelitiannya bersama Kalijaga Institute For Justice untuk SMP dan SMA di daerah Solo Raya (Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, dan Kota Solo).

Penelitian ditujukan untuk menggali faktor yang mengubah daerah Solo Raya yang awalnya sangat terbuka, namun dalam kurun sekitar 25 tahun menjadi hotspot tindakan kekerasan dan ekstremisme.

“PR (pekerjaan rumah) kita bagaimana menciptakan pendidikan toleransi di sekolah, bagaimana sekolah mampu menjadi jembatan sebagai tempat anak-anak mengonfirmasi perbedaan dengan cara-cara yang penuh penghormatan,” kata Prof Ruhaini dalam Webinar Internasional bertemakan “Membangun Budaya yang Menghormati Keberagaman dan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Pendidikan Toleransi” yang diadakan Kementerian Hukum dan HAM bersama Institut Leimena, Jumat (9/12/2022) malam

Guru Besar HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tersebut menyebut tiga kesimpulan dari hasil penelitian Kalijaga Institute For Justice terkait tumbuhnya tindakan ektremisme di Solo Raya. Pertama, kurangnya kurikulum yang berisi aspek-aspek kebudayaan substantif seperti belajar memahami, mengerti, menyadari, dan kemauan bertindak.

“Sekolah kita menjadi sangat instruktif. Sekolah kita menjadi suatu proses pembelajaran yang sifatnya lebih instrumental, bukan hal-hal sifat subtantif yang seharusnya ada di dalam masyarakat,” kata Ruhaini.

Kedua, Ruhaini mengatakan muatan kurikulum di Indonesia sangat padat sekali dengan pengetahuan, namun sangat rendah sekali tentang kesadaran. “Knowledge sangat tinggi tapi afeksi sangat kurang sekali,” ujarnya.

Ketiga, sekolah merupakan jembatan bagi peserta didik dari ranah privat ke ranah publik yang lebih luas. Di sisi lain, tanggung jawab untuk mempromosikan toleransi dan keberagaman bukan hanya tanggung jawab sekolah tetapi juga pemerintah di tingkat nasional dan daerah.

“Perbedaan harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang perlu dihargai,” tambah Ruhaini.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu

UU Sisdiknas

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, mengatakan dukungan terhadap keragaman dan HAM secara eksplisit tertera dalam prinsip Penyelenggaraan Pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 yang masih berlaku sampai saat ini. Bunyinya demikian, “Pendidikan diselenggarakan  secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”

“Sayangnya, dalam temuan Yayasan Cahaya Guru, sayangnya, tidak banyak pemangku kepentingan dunia pendidikan mengetahui kehadiran pasal yang sangat krusial untuk pendidikan keragaman dan HAM,” kata Henny.

Dia mencontohkan situasi di Sumatera Barat (Sumbar) dimana terdapat peraturan daerah yang mewajibkan penggunaan jilbab sebagai seragam di sekolah negeri. Situasi itu memperlihatkan ketidakpahaman pemerintah setempat atas spirit dari Perinsip Penyelenggaraan Pendidikan yang memuat berbagai kata kunci penting dalam dunia pendidikan.

“Sekolah negeri di Sumatera Barat atau di manapun yang menerapkan peraturan pengharusan jilbab, sebetulnya  melanggar UU Sisdiknas. Seberapa jauh sekolah-sekolah menyadari hal itu? Apakah karena belum mengetahui adanya pasal Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan keharusan itu diterapkan?” ujar Henny.

Moderator, Muhammad Hafiz (Researcher of CENTRA Initiative), dan Profesor Emeritus Kebijakan Pendidikan Internasional Universitas Vanderbilt, Stephen Heyneman.

­

Sebaliknya, Henny juga memaparkan situasi di Maluku dimana para guru dan kepala sekolah menyemai keragaman melalui kearifan lokal yaitu pela pendidikan, dari kata pela gandong yaitu pela artinya “ikatan” dan gandong artinya “kandung”, dan hapuama yang berarti “merangkul atau memeluk”.

“Sekalipun belum mendengar adanya prinsip penyelenggaraan pendidikan, mereka berpayung pada keragaman, kebangsaaan dan kemanusiaan. Secara strategis menggunakan  keragaman sebagai kekuatan untuk maju bersama,” kata Henny.

Henny mengatakan dua tempat tersebut, yaitu Sumbar dan Maluku, sengaja dipilih untuk memperlihatkan berbagai faktor menguatkan atau melemahkan kesadaran keragaman dan HAM. “Terlihat jelas bagaimana keragaman dimaknai secara berbeda,” ungkapnya.

Profesor Emeritus Kebijakan Pendidikan Internasional Universitas Vanderbilt, Stephen Heyneman, mengatakan pendidikan toleransi bisa dikembangkan lewat kurikulum maupun praktik/pengalaman di sekolah. Kurikulum artinya secara aktif dan sengaja mendorong kehidupan toleransi dan empati. Sedangkan, praktik berarti guru memberikan teladan kepada murid bagaimana harus bersikap terhadap orang yang berbeda. [IL/Chr]