Oleh Binti Wasi’atul Ilmi, S.Ag., M.Pd.I.

Di era global seperti sekarang ini, banyak perubahan yang serba cepat dan dinamis. Perubahan itu tidak hanya membawa dampak positif dan negatif. Salah satu sikap yang negatif yang bisa timbul dari globalisasi adalah sikap individualis, rendahnya empati, tidak bertanggung jawab, rasa acuh di dalam bertoleransi, kurangnya kerjasama dan gotong royong bahu membahu dalam kehidupan bermasyarakat (Al Muchtar, S, 2007 :56).

Ketika manusia tidak menghargai orang lain, maka dalam dirinya sudah tidak lagi ada rasa peduli, empati, kasih sayang, toleransi dan lain sebagainya. Banyak berita di media massa saat ini menunjukkan perilaku anak didik kita yang kelewat batas. Kemen PPPA misalnya mencatat ada sekitar 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi korban kekerasan di sekolah pada periode Januari-April 2023. Kasus  kekerasan itu diantaranya adalah kasus bullying atau perundungan yang dilakukan murid SD kelas 3 di Palangkaraya yang baru-baru ini terjadi.[1] Dan masih banyak contoh-contoh kasus yang dilakukan oleh anak-anak usia SD yang menjadi keprihatinan kita bersama. Apa yang dilakukan anak SD tersebut adalah sebagian wujud dari sikap tidak menghargai sesama.

Sikap menghargai itu bukan hanya soal menghargai setiap individu ataupun kelompok, namun harus benar-benar faham bawasanya manusia itu harus mampu menerima dan memahami orang lain. Penanaman sikap toleransi menjadi hal yang sangat penting untuk dilaksanakan di lingkungan pendidikan. Kebiasaan yang dibiasakan akan tumbuh berkembang dan menjadi hal baik, tidak adanya diskriminatif, tidak mudah berprasangka atau stereotif yang negatif terhadap kelompok yang lain.

Sikap saling menghargai merupakan bentuk toleransi yang dapat dilakukan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Untuk anak-anak di lembaga sekolah dapat kita tanamkan mulai dari hal-hal kecil seperti menghargai keinginan teman saat sedang bermain bersama dan tidak memaksakan keinginan sendiri, menghargai apa yang dimiliki temannya, menghargai kondisi temannya baik secara fisik maupun secara kemampuan, sikap anak yang tidak membeda-bedakan satu teman dengan teman lainnya dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Dengan adanya sikap saling menghargai yang ada pada anak-anak akan menciptakan suasana di sekolah yang nyaman, gembira, bahagia serta adanya rasa kasih sayang terhadap sesama, saling tolong menolong, keceriaan, dapat menciptakan kedamaian dan kebaikan,  serta dapat meningkatkan kualitas diri sendiri sebagai manusia. Menghargai orang lain sama dengan menghargai diri kita sendiri.

Refleksi dari Buku Pelajaran

Di buku mata pelajaran, kita dapat menemukan pengenalan akan praktik belajar toleransi. Di buku paket SD Tema 3 misalnya, ada pelajaran menarik tentang pentingnya memiliki sikap saling manghargai perbedaan. Dalam kehidupan, ini perbedaan akan selalu muncul. Dari perbedaan sederhana seperti kesukaan makanan atau minuman hingga perbedaan suku bangsa, adat istiadat, dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri perbedaan ada dalam banyak hal, seperti perbedaan dari segi budaya serta kebiasaan sehari-hari. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak perbedaan, dari suku, budaya, ras, hingga agama yang justru menjadi kekayaan bagi bangsa ini.[2]  Dan di materi kelas 3 SD untuk pelajaran Pendidikan Agama Islam ada di Bab 4 hidup tenang dengan berperilaku terpuji salah satunya adalah perilaku peduli terhadap sesama tanpa membedakan latar belakang seseorang. Untuk materi saling menghargai dan menghormati agama lain atau toleransi ada di kelas 6

Pengertian toleransi secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang artinya sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antar sesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri. Sedangkan Toleransi menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Tujuan toleransi beragama sendiri adalah meningkatkan iman dan ketakwaan masing-masing penganut agama dengan kenyataan ada agama lain. Dengan demikian, kita sebagai umat yang menganut ajaran agama, semakin menghayati dan memperdalam ajaran agama dan berusaha untuk mengamalkannya, mencegah terjadinya perpecahan antara umat beragama akibat perpedaan. Jadi, toleransi beragama berarti bahwa setiap orang memliki persamaan hak dan harus diperlakukan sama dalam hidupnya demi kedamaian, kenyamanan, dan kesejahtraan bersama. Karena kita ada di dunia ini sama-sama makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.

 

Lomba Respon Kasus

Sebagai guru SD di SDN 1 Ngepeh, tantangan mengajarkan anak SD dalam bertoleransi tidaklah mudah. SD negeri notabene berbeda dengan SD Swasta atau sekolah berbasis agama. Secara geografi, warga di Ngepeh hampir 90% lebih beragama Islam. Sedangkan yang lain beragama katolik, Kristen maupun Hindu Budha.

Secara teori anak-anak SDN 1 Ngepeh sudah mendapatkan materi tentang menghargai dan menghormati perbedaan. Hanya saja secara prakteknya jauh dari kenyataan di sosial masyarakat dan di lingkungan sekolah sendiri tidak ada yang beragama lain. Saya tertantang untuk mencari strategi agar mereka murid-murid saya mengenal dan merasakan kenyataan hidup berdampingan dengan agama lain adalah dengan cara dalam setiap 1 tahun sekali diadakannya “lomba respon kasus.”

Lomba ini saya adakan untuk memancing respon anak terhadap kasus interaksi antar umat beragama berbeda. Saya pernah mengabadikan momen tersebut di channel youtube saya : https://youtu.be/CdvIiSrYz90. Dalam refleksi pembelajaran saya bersama murid-murid, metode “Lomba Respon Kasus” ada beberapa kelebihan diantaranya; pertama, siswa dapat mengetahui melalui pengamatan yang sempurna tentang gambaran yang nyata dan benar-benar terjadi dalam hidupnya sehingga mereka dapat mempelajari dengan penuh perhatian dan lebih terperinci persoalannya. Kedua, dengan mengamati, memikirkan, dan bertindak dalam mengatasi situasi tertentu mereka lebih meyakini apa yang diamati dan menemukan banyak cara untuk pengamatan dan pencarian jalan keluar itu. Ketiga, siswa mendapat pengetahuan dasar dan penyebab-penyebab yang melandasi kasus (konflik) tersebut. Keempat, siswa menjadi lebih aktif dan termotivasi untuk berfikir lebih kritis. Kelima, siswa dapat  mengembangkan intelektual dan keterampilan berkomunikasi secara lisan ataupun tertulis.

Secara tidak langsung, metode “Lomba Respon Kasus” dapat mengenalkan dan memahamkan anak lebih jauh tentang praktik toleransi pada anak usia dasar. Hal ini sesuai dengan tiga kompetensi dalam LKLB (Literasi Keagamaan Lintas Budaya) yaitu: pertama kompetensi pribadi di mana kompetensi pribadi adalah memahami diri sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan saya  dengan murid-murid saya untuk memahami arti toleransi. Kemudian yang kedua adalah kompetensi komparatif yaitu memahami ”orang lain”, dalam sebuah lomba respon kasus sebagaimana dia memahami dirinya sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan saya.

Dan yang ketiga adalah kompetensi kolaboratif yaitu memahami konteksi potensi kolaborasi di antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan dalam menanggapi sebuah kasus dalam lomba respon kasus. Saya punya harapan lebih anak-anak bisa terus hidup damai, rukun dan saling asah asih, dan asuh meski berbeda latar belakang termasuk agama dan kebudayaan.

[1] https://kaltengpos.jawapos.com/berita-utama/22/03/2023/kasus-bullying-di-sd-unggulan-korban-alami-trauma-setelah-dihajar-fisik/

[2] https://bobo.grid.id/read/083409644/cari-jawaban-materi-kelas-3-sd-tema-1-mengapa-kita-harus-saling-menghargai-perbedaan?page=all

Saya tertantang untuk mencari strategi agar mereka murid-murid saya mengenal dan merasakan kenyataan hidup berdampingan dengan agama lain.

Profil Penulis

Binti Wasi’atul Ilmi, S.Ag., M.Pd.I.

GPAI SDN 1 Ngepeh

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *