Kegiatan workshop LKLB salah satunya berupa kunjungan lapangan ke tempat ibadah untuk berdialog secara langsung dengan pemuka agama dalam rangka memperdalam kompetensi komparatif.

Semarang, LKLB News – Pelaksanaan workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) di Semarang, Jawa Tengah, pada 17-19 Maret 2023 cukup berbeda karena pertama kalinya melibatkan 22 guru alumni LKLB beragama Islam dan Kristen. Keberagaman latar belakang peserta workshop menjadi dinamika tersendiri dalam sesi-sesi yang berlangsung termasuk saat kunjungan ke dua tempat ibadah berbeda yaitu Masjid Agung Kauman Semarang dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stadion.

Para peserta berkesempatan terlibat dalam diskusi yang terbuka dengan sesama rekan maupun pemuka agama di kedua tempat ibadah tersebut. Kunjungan tersebut membuka wawasan lebih jauh mengenai sisi ibadah baik dari agama Islam maupun Kristen sehingga diharapkan tumbuh rasa saling menghormati dan menghargai antara penganut agama yang berbeda.

“Saya sangat terkesan dengan sejarah dari Masjid Agung Kauman Semarang yang berdiri di tengah-tengah keberagaman budaya yaitu China, Koja, dan Arab. Ini menunjukkan pluralisme,” kata Guru Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Sekolah Kristen Tritunggal Semarang, Ruth Evyana.

Pengalaman memasuki masjid sambil mendengarkan penjelasan tentang keistimewaan ibadah umat Islam menjadi sesuatu yang membuka wawasan bagi para guru Kristen. Apalagi, Masjid Agung Kauman memang dikenal sebagai masjid tertua di kota Semarang yang sejak awal pendiriannya telah mengusung semangat keberagaman.

“Saya mendapatkan pemahaman bagaimana sebuah masjid juga menjadi pusat kegiatan masyarakat dan mendapatkan pemahaman baru tentang bagaimana peraturan-peraturan yang harus ditaati ketika berada di masjid. Sangat menarik dan membuka wawasan,” ujar Ruth.

Sementara itu, Takmir Masjid Agung Kauman Semarang, H. Muhaimin, menjelaskan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam memiliki posisi penting karena Nabi Muhammad SAW memberikan perintah istimewa untuk menjalankan salat lima waktu. Muhaimin juga menceritakan tentang peristiwa penting Isra Miraj sebagai perjalanan suci oleh Nabi Muhammad SAW yang mendapatkan perintah menunaikan salat lima waktu.

Muhaimin mengatakan umat Islam bisa beribadah di masjid mana pun tanpa ada batasan. Ibadah salat lima waktu bersifat wajib sehingga umat Islam harus mengusahakan salat dalam kondisi apa pun dan di mana pun.

“Kenapa ada masjid? Karena di dalam Islam yang utama adalah ibadah yang bersifat kolektif, bersama atau berjamaah daripada ibadah yang sifatnya pribadi atau personal. Kalau kita salat sendiri ganjarannya satu, kalau salat berjamaah ganjarannya 27 kali,” ujarnya.

Takmir Masjid Agung Kauman Semarang, Muhaimin.

Tradisi “Dugderan”

Saat berkunjung ke Masjid Agung Kauman, peserta workshop LKLB disuguhi kemeriahan suasana pasar rakyat “dugderan” di sekeliling masjid. Terkait hal itu, Muhaimin mengatakan Masjid Agung Kauman Semarang telah menjadi pusat kegiatan masyarakat sejak berdiri sekitar abad ke-18 Masehi. “Dugderan” merupakan salah satu tradisi di Kota Semarang sebagai penanda awal ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tradisi “dugderan” termasuk dalam warisan budaya tak benda Indonesia. Tradisi “dugderan” pertama kali digelar sekitar tahun 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat karena umat Islam di Semarang masa itu belum memiliki keseragaman dalam menentukan awal waktu puasa.

Nama “dugderan” sendiri merupakan onomatope dari suara pukulan bedug dan dentuman meriam, sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan.

Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak awal bulan puasa sebanyak 17 kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali. Perpaduan bunyi bedug dan meriam tersebut yang kemudian membuat tradisi tersebut diberi nama “dugderan”.

“Di Majid Agung Kauman pada sekitar tahun 1881 ada semacam sidang isbat. Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat meminta petugas khusus untuk mengamati bulan dan hasilnya disampaikan kepada para kiai yang telah berkumpul di masjid ini,” kata Muhaimin.

Selain mengunjungi masjid, para peserta workshop LKLB juga diajak melihat Pondok Pesantren Raudhatul Qur’an Kauman, yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat dan telah meluluskan para penghafal Alquran sejak 1950-an.

Pendeta Tidur di Masjid

Sementara itu, Pendeta GKI Stadion Semarang, Ponco Trihandoko, menjelaskan bahwa gereja merupakan persekutuan orang Kristen, bukan semata bangunan gedung. GKI Stadion berdiri sejak 1936 yang diawali dengan persekutuan kecil masyarakat keturunan Tionghoa.  Jumlah jemaat mencapai 500-600 orang dan satu-satunya gereja di Jawa Tengah yang masih memakai bahasa Mandarin dalam salah satu ibadahnya.

“Ini kunjungan istimewa buat kami. Ini pertama kali, walaupun saya banyak teman Muslim tapi baru kali ini kami kedatangan khusus,” kata Pdt. Ponco.

Pdt. Ponco mengaku pernah beberapa kali mengunjungi masjid, bahkan menumpang tidur di salah satu masjid di Yogyakarta selepas melewati perjalanan jauh. Dia merasakan masjid sebagai tempat yang begitu ramah kepada masyarakat termasuk orang yang berbeda agama.

“Kita semestinya sebagai saudara dalam kemanusiaan, sebangsa, dan setanah air tidak alergi. Saya sangat mengapresiasi kedatangan Bapak dan Ibu yang datang sebagai teman senegara dan satu masyarakat Indonesia yang kita cintai,” katanya.

Pendeta GKI Stadion Semarang Ponco Trihandoko (baju hitam) bersama peserta workshop LKLB di GKI Stadion Semarang.

Kasubdit Diseminasi dan Penguatan HAM, Novie Soegiharti, mengatakan kunjungan ke GKI Stadion Semarang bertujuan memperkaya wawasan terkait LKLB. “Bapak ibu guru di sini memang kita tugaskan untuk membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang bisa mengaitkan LKLB, supremasi hukum, dan kebebasan beragama ke dalam metode atau mata pelajaran yang diampu,” lanjutnya.

Guru MTsN 1 Jepara, Fida Busyro Karim, mengatakan supremasi hukum diperlukan sebagai jaminan agar umat beragama tidak saling berbenturan dalam keberagaman, melainkan bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain. [IL/Chr]