Peserta 30th Annual International Law and Religion Symposium yang diadakan oleh International Center for Law and Religion Studies, Brigham Young University (BYU) Law School di Provo, Utah, Amerika Serikat (AS), 1-3 Oktober 2023.

Jakarta, LKLB News – Upaya merawat kerukunan umat beragama bukan hanya memerlukan dialog, melampaui itu dibutuhkan kerendahan hati untuk berkolaborasi secara nyata antar pemeluk agama berbeda. Kerukunan tidak bisa direduksi menjadi sekadar pilihan sebaliknya kebutuhan vital yang umumnya menjadi ukuran keberhasilan masyarakat majemuk.

Hal itu disampaikan oleh Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab, dalam 30th Annual International Law and Religion Symposium yang diadakan oleh International Center for Law and Religion Studies, Brigham Young University (BYU) Law School di Provo, Utah, Amerika Serikat (AS) pada 3 Oktober 2023. Dalam acara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, juga hadir sebagai salah satu narasumber bersama sejumlah tokoh Indonesia lainnya.

“Saya tekankan bahwa untuk melindungi ‘kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama’, kita perlu beralih dari sekadar retorika ke tindakan. Melampaui dialog lintas agama kepada kolaborasi lintas agama,” ujar Alwi Shihab yang merupakan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur tengah dan Organisasi Kerjasama Islam tahun 2016-2019.

Alwi mengungkapkan tumbuhnya radikalisme dan intoleransi di Indonesia khususnya disebabkan oleh penafsiran kitab suci yang kaku, eksklusif, dan tertutup terhadap kitab suci agama lain. Pendekatan hermeneutis semacam itu didukung dan dipromosikan oleh kelompok-kelompok agama ekstremis dan transnasional.

Menurut Alwi, berkat ideologi nasional yang stabil yaitu Pancasila, Indonesia telah menikmati bertahun-tahun masyarakat moderat dengan realitas pluralistik. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dan ekspresi keagamaan serta beribadah, sejalan dengan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

“Indonesia dan sebagian besar negara Asia Timur tidak memiliki keluhan sejarah dan bentrokan rasial yang menghalangi dialog dan interaksi antar komunitas agama. Keuntungan ini sangat mendorong kemungkinan penerapan kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi,” ujar pakar hubungan lintas agama tersebut.

Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab.

Alwi menambahkan berdasarkan survei oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, sebanyak 57% guru beragama Islam memiliki opini intoleransi terhadap agama lain. Hal ini sangat meresahkan karena guru mempunyai kedudukan strategis sekaligus berperan penting dalam pembentukan nilai, pandangan, dan perilaku siswa.

“Hal ini juga mempunyai implikasi mengkhawatirkan bagi Indonesia yang beragam agama dan memiliki populasi Muslim terbesar di dunia,” ujar Alwi.

Berangkat dari pentingnya kolaborasi lintas agama, pada 2021, Institut Leimena meluncurkan inisiatif Literasi Keagamaan Lintas Budaya sebagai program pelatihan guru madrasah dan sekolah dalam rangka mengembangkan kompetensi para guru dalam membangun relasi damai antar agama dan kolaborasi lintas iman.

Peserta simposium dari Indonesia yaitu Alwi Shihab, anggota DPR RI Anggia Erma Rini, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, Dr. Brett Scharffs, Direktur ICLRS BYU Brett Scharfs, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho.

Urgensi Literasi Agama

Menurutnya, para sarjana dan pakar studi-studi agama telah lama berpendapat bahwa nilai pendidikan dari studi perbandingan agama bisa mengatasi intoleransi beragama. Urgensi untuk mengenal literasi agama semakin dirasakan dan mulai berakar sejak serangan terorisme bulan September 2001 di AS.

“Bekerja sama dengan para cendekiawan Islam, Kristen, dan Yahudi, serta lainnya, yang difasilitasi Institut Leimena, sebuah organisasi Kristen, banyak diantaranya kami dari Indonesia ada di simposium ini seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Abdul Mu’ti, dan Imam Besar Nasaruddin Umar, serta Matius Ho, kami bekerja sama untuk merancan dan mengimplementasikan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya,” kata Alwi.

Alwi menjelaskan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya, atau LKLB, melatih para guru untuk mengembangkan interaksi harmonis, saling menghormati, dan kolaborasi positif lintas agama. Pelatihan LKLB dimulai dari guru-guru Muslim dan Kristen, yang merupakan 97% populasi Indonesia, dengan tujuan menjangkau dan melatih guru-guru agama lainnya agar tercipta dialog dan kolaborasi antar agama yang positif.

Pelatihan LKLB berupaya mendidik dan mencerahkan guru dalam tiga kompetensi berbeda, yaitu kompetensi pribadi, komparatif, dan kolaboratif. Dalam konteks masyarakat Indonesia, lanjut Alwi, guru berada di garda terdepan untuk melindungi komunitasnya dari pengaruh intoleransi beragama dan ekstremisme. Sayangnya, kita mengamati bahwa meningkatnya radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan dikaitkan dengan model penafsiran, pemahaman, dan pengajaran, serta aliran pemikiran tertentu.

“Program ini meletakkan dasar dan memberikan kompetensi yang diperlukan menuju pemahaman inklusif dalam kerangka kebebasan beragama,” kata Alwi.

Senada dengan itu, Matius Ho, yang berbicara di sesi “Asian Religious and Interreligious NGOs” menyampaikan Protecting the Right to Freedom of Thought, Conscience, and Religion: Cross-Cultural Religious Literacy in Indonesia (Melindungi Hak Kebebasan Berpikir, Berhati Nurani, dan Beragama: Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Indonesia).

“Program LKLB yang diadakan Institut Leimena bersama belasan mitra lintas agama sejalan dengan tiga rekomendasi survei nasional tahun 2017-2018 yang diadakan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu adanya pendidikan lintas agama dan literasi keagamaan, memperkenalkan agama lain dalam pendidikan agama Islam, dan mengekspos guru pada pengalaman positif keberagaman,” kata Matius.

Simposium tahunan yang diadakan oleh Brigham Young University ini dihadiri tokoh-tokoh LKLB seperti Alwi Shihab, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Selain itu hadir pula, anggota DPR RI, Anggia Erma Rini. [IL/Chr]