Keterangan gambar: Madrasah Ulugh Beg yang dibangun oleh tokoh astronomi Islam, Ulugh Beg, di Samarkand, Uzbekistan.
Pada abad ke-16, Ulugh Beg sudah melakukan penemuan luar biasa yaitu melacak dan mencatat waktu rotasi bulan mengelilingi bumi hingga satu menit dari waktu sebenarnya. Peninggalan Ulugh Beg masih terlihat di Samarkand yaitu madrasah dan observatorium.
Dr. Chris Seiple, Senior Fellow University of Washington
Jakarta, 11 Desember 2021 – Dalam pengalamannya menerapkan tiga kompetensi dasar Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, terkenang akan kunjungannya ke Uzbekistan. Negara Uzbeksitan yang terletak di Asia Tengah telah sejak lama dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam.
Dr. Chris pertama kali tiba di Uzbekistan pada 2004. Dia mengunjungi Registan (alun-alun publik) di kota Samarkand, yaitu ibu kota Tamerlene (Timur Lenk) yang diambil dari nama tokoh besar Islam. Tamerlene adalah seorang penakluk dan penguasa Islam Sunni keturunan Turki-Mongol yang terkenal pada abad ke-14. Cucu Tamerlene juga tidak kalah masyhur yaitu ahli astronomi Islam ternama bernama Ulugh Beg.
Pada abad ke-16, Ulugh Beg sudah melakukan penemuan luar biasa yaitu melacak dan mencatat waktu rotasi bulan mengelilingi bumi hingga satu menit dari waktu sebenarnya. Peninggalan Ulugh Beg masih terlihat di Samarkand yaitu madrasah dan observatorium.
Dr. Chris mengakui kunjungan tersebut membuatnya berefleksi karena pertama kali dirinya mengenal nama Ulugh Beg yang memiliki pengaruh intelektual sampai ke Eropa.
“Pandangan dunia memiliki begitu banyak tradisi intelektual dan teologis yang begitu kaya. Saya bodoh jika tidak mau belajar darinya,” kata Dr. Chris.
Saat kedua kalinya mengunjungi Uzbekistan, tepatnya November 2019, Dr. Chris bersama delegasi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, Rabi Yahudi, pendeta Kristen, dan Imam Muslim mengunjungi makam Imam Al-Bukhari. Dia kembali mengakui baru pertama kalinya mengetahui tentang Imam Al-Bukhari.
“Tapi saya tidak tahu siapa Imam Al-Bukhari, ini adalah pertama kalinya ketika saya di Uzbekistan. Bahwa dia telah berkeliling dunia untuk menemukan hadits, ucapan Nabi Muhammad SAW, untuk memverifikasi, mendengarkan, mengamati, dan memverifikasi hadits supaya ada dokumentasi ilmiah tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar,” kata Dr. Chris.
Dr. Chris mengatakan kompetensi pribadinya semakin diasah lewat pertemuannya dengan orang-orang yang berbeda di Uzbekistan, termasuk dari bangsa Tajik dan Karakalpak. Dia kembali memahami bahwa LKLB bisa dipraktikan jika seseorang mau terbuka dan berusaha memahami orang lain dari sudut pandang orang tersebut. Tujuannya bukan untuk mengubah apa yang kita yakini, melainkan mencari titik temu untuk mencapai atau menyelesaikan sesuatu.
Pada Januari 2017, Dr. Chris berkunjung ke Indonesia lalu bertemu dengan tokoh Muslim, Ahmad Syafii Maarif. Dia merasa kagum atas pernyataan Buya Maarif yang dikutipnya dari sebuah buku: prinsip pluralisme itu penting. Ini menunjukkan kesediaan kita untuk menghormati hak-hak orang lain untuk berpendapat bahwa kebenaran terbesar berada dalam agamanya sendiri, meskipun kita tidak setuju dengan mereka. Pada saat yang sama, orang lain harus menghormati posisi Muslim, yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar.
“Terdengar adil. Saya tidak tahu bahwa ajaran ini ada dalam komunitas Islam, pada ulama. Dan saya bilang, ‘Saya bisa belajar dari orang ini (Buya Maarif)’,” kata Dr Chris.
Saat di Indonesia, Dr. Chris juga bertemu dengan professor sejarah di Yale University, Lamin Sanneh, yang diundang melakukan dialog dengan ulama antara lain di Jakarta dan Yogyakarta. Prof Sanneh dalam paparannya menyampaikan istilah “batik Islam”. Artinya, Islam yang strukur dan kainnya sama tapi aplikasinya bervariasi dengan warna lokal.
Menurut Dr. Chris, salah satu kekayaan kuliner Indonesia, yaitu “gado-gado”, juga menggambarkan hal senada. Filosofi “gado-gado” berbeda dari konsep asimilasi yang kerap dipakai pemerintah untuk menghendaki setiap orang harus terlihat seperti mayoritas.
“Kita sebenarnya tidak ingin dilebur bersama, kita tidak ingin menjadi sama. Dan gado-gado adalah integrasi. Gado-gado berarti saya ingin agar Anda tidak berbaur dan menjadi sama, tapi saya ingin Anda untuk membawa esensi identitas Anda, esensi dari diri Anda,” kata Dr. Chris.
LKLB artinya seseorang tidak perlu kehilangan keunikan atau identitasnya, tetapi bersama-sama akan lebih baik jika dibandingkan sendiri. “Ini adalah berkah Indonesia. Ini adalah apa yang Anda hidupi,” ungkap Dr. Chris.
Dr. Chris menegaskan dalam perbedaan, seseorang tidak akan sepakat dalam beberapa hal. Tapi, dia tetap bisa bersikap ramah, terbuka, dan hangat, “Saya pikir ini adalah aspek terbaik dari Pancasila,” tambahnya. (IL/Chr)