Para pembicara kunci menyampaikan paparan dalam The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies di Kairo, Mesir, 7-9 Juni 2022.

Jakarta, LKLB News – Atas undangan Grand Mufti Mesir, Dr. Shawki Ibrahim Allam, Institut Leimena yang diwakili oleh delegasi program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), hadir dalam konferensi yang digelar di Kairo, Mesir pada 7-9 Juni 2022 bertajuk The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies.

Konferensi Kairo tersebut adalah sebuah inisiatif ilmiah yang dimotori oleh negara Mesir untuk meningkatkan upaya kontra narasi ekstremisme lewat jejaring global. Acara dilaksanakan oleh Salam Centre for Studies of Extremism, yaitu sebuah unit penelitian yang terafiliasi dengan lembaga fatwa Mesir yang sangat terpandang di kalangan Islam di seluruh dunia yaitu Dar Al-Ifta Mesir.

“Program pelatihan LKLB untuk para guru yang dilakukan Institut Leimena telah menarik perhatian internasional sehingga kami diundang mengikuti konferensi di Kairo,” kata Koordinator Program LKLB Institut Leimena, Budi Setiamarga, Ph.D., kepada LKLB News baru-baru ini.

Budi hadir bersama dua delegasi LKLB lainnya yaitu Wakil Rektor V bidang Kerjasama dan Promosi, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Prof. Dr. Hattah Fattah dan Direktur Program Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A. Malik Fadjar, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nafik Muthohirin, MA, Hum.

Budi menjelaskan pelaksanaan Konferensi Kairo menunjukkan negara-negara Timur Tengah saat ini justru mengarah kepada tren moderasi beragama. Konferensi tersebut menghasilkan 15 butir rekomendasi, salah satunya mengonfirmasi pentingnya pembaharuan wacana keberagaman sebagai sebuah proses yang sungguh sesuai ajaran agama Islam.

Ditegaskan pula, wacana keberagaman sangat penting untuk melawan ekstremisme, baik sebagai tindakan untuk berjaga-jaga (precaution) maupun sebagai upaya untuk mengatasi ekstremisme (treatment).

“Konferensi Kairo merumuskan poin-poin penting untuk ditindaklanjuti bersama. Dalam konteks itu, menurut saya, program LKLB bisa menjadi solusi atau jawaban secara praktis karena menitikberatkan kepada tiga kompetensi dasar yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif dalam berelasi dalam keberagaman,” kata Budi.

Budi mengatakan kompetensi pribadi mendorong seseorang lebih mendalami ajaran agamanya dalam konteks relasi dengan sesama yang berbeda agama dan kepercayaan, kompetensi komparatif artinya mengenal ajaran agama lain dengan tujuan lebih berempati, sedangkan kompetensi kolaboratif sebagai keterampilan untuk bekerja sama dalam perbedaan tersebut.

Delegasi program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dari kiri ke kanan: Direktur Program Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A. Malik Fadjar, Universitas Muhammadiyah Malang, Nafik Muthohirin, Koordinator Program LKLB Institut Leimena, Budi Setiamarga, dan Wakil Rektor V bidang Kerjasama dan Promosi, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Hattah Fattah.

Menurut Budi, Konferensi Kairo juga merekomendasikan pengembangan standar yang jelas untuk penyampaian wacana keberagaman lewat khotbah serta pelajaran agama di masjid dan institusi lainnya.

“Tujuannya untuk memastikan hanya orang yang memang mampu (qualified) untuk menyampaikan pesan-pesan dalam wacana keberagamaan yang baik sehingga ujaran kebencian, ekstremisme, dan intoleransi dapatlah dihindari,” katanya.

Rekomendasi lainnya menyoroti pentingnya peran guru dalam menangkal ideologi ekstremisme, serta perlunya payung untuk menaungi berbagai lembaga riset dan think tank yang bergerak di bidang ekstremisme dan terorisme.

Pelaksanaan The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies juga mendapat sorotan dari media nasional dan internasional di Kairo, Mesir.

Aksi Kolektif

Direktur RBC Institute A. Malik Fadjar, Nafik Muthohirin, mengatakan konferensi tersebut membahas mengenai persoalan ekstremisme dan terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia. Menurut Nafik, aksi terorisme dan ekstremisme terus mengalami transformasi gerakan. Bahkan, sejumlah kelompok ekstremis melakukan propaganda pemikiran dan strategi perekrutan melalui cara-cara yang lebih kontemporer terutama melalui media sosial.

Nafik menyebut bahwa perlawanan terhadap ekstremisme agama tidak bisa dilakukan secara sendiri. Untuk memeranginya, perlu aksi kolektif di antara pemimpin negara, pemimpin agama, akademisi dan peneliti.

“Hal itu pula yang disampaikan Grand Mufti Mesir Dr. Shawki Allam. Disampaikan, upaya memerangi ekstremisme dengan pendekatan militeristik tidak cukup. Ada cara yang lebih humanis dengan memoderasi pemahaman dan perilaku keberagamaan pengikutnya,” kata Nafik yang juga dosen di Fakultas Agama Islam UMM.

Jumlah peserta yang hadir dalam konferensi sekitar 400 orang termasuk ulama, akademisi, peneliti, dan para mufti (otoritas agama tertinggi) dari 42 negara antara lain dari Indonesia, Amerika Serikat (AS), India, Tunisia, Bahrain, Kazakhstan, Singapura, Uzbekistan, Aljazair, dan lainnya.

Para pembicara juga berasal dari berbagai otoritas dunia seperti World Muslim Communities Council (WMCC), United Nation Counter Terrorism Center, European Center for Terrorism Studies, dan para peneliti dari berbagai universitas di dunia seperti Al-Azhar University dan George Washington University, serta para pakar dunia yang mengkaji masalah ekstremisme agama.

Sedangkan, narasumber dari Indonesia adalah Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. Ahmad Fahrur Rozi Burhan. Hampir semua sesi disampaikan dalam bahasa Arab, namun penyelenggara menyediakan penerjemah simultan sehingga acara tetap bisa diikuti peserta yang tidak berbahasa Arab. [IL/Chr]