
Para guru peserta Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Institut Leimena, saat mengunjungi Gereja Pregolan Bunder, Surabaya, 1 Februari 2025.
Surabaya, LKLB News – Upaya untuk membuka ruang-ruang perjumpaan lintas agama menjadi hal penting dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Perjumpaan dalam kerangka positif akan mampu menepis prasangka dan mendorong semangat kerja sama antar umat berbeda agama dan budaya.
Hal itulah yang dirasakan oleh sekitar 35 guru beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha saat mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pregolan Bunder di Surabaya, Jawa Timur, atau sering dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai “gereja masjid” karena bangunan gereja bergaya arsitektur Mediterania dengan kubah. Kunjungan rumah ibadah ini menjadi salah satu sesi dari rangkaian Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Institut Leimena pada 31 Januari-2 Februari 2025 di Surabaya.
Pendeta Sandi Nugroho menyambut para peserta dengan ramah. Dia mengatakan GKI Pregolan Bunder merupakan bangunan cagar budaya yang berdiri sejak zaman pemerintahan kolonial tahun 1881. Gereja itu dibangun tahun 1921 yang awalnya menjadi tempat tinggal para pendeta.
“Orang sekitar kami menyebutnya gereja masjid. Beberapa wisatawan menginap di tengah kota, orang Uzbekistan, Turki, mereka izin sholat, karena bingung mencari masjid di mana,” kata Sandi.
Sandi menjawab sejumlah pertanyaan dari sejumlah guru tentang agama Kristen. Misalnya, mengapa umat Kristen beribadah hari Minggu atau apakah perbedaan Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Semua pertanyaan disampaikan secara terbuka dalam rangka memperdalam pengetahuan para guru tentang orang yang berbeda agama, sehingga diharapkan mampu menghilangkan prasangka dengan orang berbeda agama.

Pendeta GKI Pregolan Bunder, Sandi Nugroho, menerima kenang-kenangan dari Direktur Program Institut Leimena, Daniel Adipranata, didampingi Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah.
Sementara itu, Direktur Program Institut Leimena, Daniel Adipranata, mengatakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Institut Leimena sejak tahun 2021 telah mendorong terciptanya ruang-ruang perjumpaan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam dari sisi agama maupun budaya. Program LKLB menyasar kepada para guru yang berperan strategis untuk membawa perubahan nyata di tengah masyarakat.
“Kita mungkin mempunyai tradisi dialog lintas agama, tapi sebenarnya itu hanya menyentuh kalangan elitis, seperti pemuka atau tokoh agama mungkin tidak ada masalah, tapi di bawah belum tentu dan belum ada infrastruktur untuk membangun toleransi sampai ke masyarakat,” kata Daniel kepada LKLB News.
Daniel menjelaskan program LKLB telah menjangkau guru atau pendidik dari seluruh provinsi di Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan. Program LKLB terdiri dari dua tahap yaitu pelatihan secara daring yang telah dilaksanakan dalam 61 kelas, selanjutnya workshop secara tatap muka yang telah berlangsung 18 kali di sejumlah kota di Indonesia.
“Toleransi tidak bisa hanya sebatas pengetahuan tapi harus mengalami langsung lewat interaksi dengan mereka yang berbeda agama. Program LKLB memungkinkan hal itu, misalnya, guru Muslim bisa bertanya apa saja tentang agama Kristen kepada pendeta, sebaliknya guru Kristen juga bisa bertanya langsung kepada ustaz,” kata Daniel.

Para guru juga diajak mengunjungi dan berdiskusi dengan pemuka agama di Pura Agung Jagat Karana, Surabaya.
Workshop LKLB, yang berlangsung pada 31 Januari-2 Februari 2025 di Surabaya, yang mengangkat tema “Pengembangan Program dan Modul Ajar Berbasis LKLB, diikuti oleh guru-guru beragama Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu. Para guru ini sebelumnya telah mengikuti pelatihan pendahuluan LKLB selama seminggu secara daring. Para guru berasal dari berbagai wilayah di Jawa Timur seperti Surabaya, Lamongan, Malang, Mojokerto, Kediri, Bondowoso, Banyuwangi, dan lainnya.
Guru SMAN 1 Malang, Dwi Kartika, mengatakan manusia yang hendaknya tidak hanya berpikir dan mengutamakan diri sendiri, tetapi juga berinteraksi dengan manusia lain sebagai perwujudan memahami agamanya. Dwi awalnya beranggapan bahwa gereja Kristen Protestan memiliki jemaat yang angkuh, namun ternyata mereka melaksanakan berbagai kegiatan sosial untuk warga sekitar sebagai perwujudan teologi yang hidup (living theology).
“Orang Kristen ternyata juga melakukan aksi-aksi sosial, memberikan les pelajaran untuk anak-anak yang tinggal di sekitar gereja dan mayoritas Muslim, melakukan kegiatan buka bersama, dan kerja bakti lingkungan,” kata Dwi.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, mengatakan program LKLB dimulai dari gagasan para tokoh seperti almarhum Buya Syafii Maarif, Alwi Shihab, dan Amin Abdullah. Program LKLB membekali guru dengan kompetensi dan keterampilan konkret untuk berpikir kritis, termasuk dalam pengajaran agama di sekolah yang lebih mengedepankan indoktrinasi.
“Kami menyaksikan langsung bahwa mekanisme perubahan lewat model LKLB sangat efektif karena dimulai dari diri sendiri dengan memberikan pemahaman lalu kita bawa ke ranah sikap, dimana para guru yang berbeda agama duduk bersama, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, dan berkolaborasi,” kata Prof. Inayah.
Prof. Inayah adalah satu tokoh yang bermitra dengan Institut Leimena untuk mengembangkan modul workshop LKLB. Para guru yang mengampu berbagai mata pelajaran didampingi untuk membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (modul ajar) atau program dengan memuat nilai-nilai LKLB.
“Jadi sepulang dari workshop ini, para guru sudah membawa RPP atau program yang bisa langsung mereka terapkan di sekolah. Ini diharapkan menjadi gerakan masif, bola salju yang kita harapkan bisa membawa perubahan ke depannya,” kata Inayah. [IL/Chr]